Review Novel Convenience Store Woman (Konbini Ningen) karya Sayaka Murata
bektisiblogger – Apa yang kamu
pikirkan ketika ada seorang perempuan berusia 36 tahun yang bekerja sebagai pekerja
paruh waktu di minimarket selama kurang lebih 18 tahun lamanya? Mungkin
sebagian banyak orang akan berpikir “Kenapa di usia segitu masih bekerja
paruh waktu? Seharusnya sudah memiliki pekerjaan tetap dan sudah menikah”. Begitulah
yang dialami oleh Keiko Furukura sebagai gadis minimarket dalam novel berjudul “Convenience
Store Woman” karya Sayaka Murata.
~ b l u r b ~
Dunia menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak
tahu “normal” itu seperti apa. Namun, di minimarket Keiko dilahirkan dengan
identitas baru sebagai “pegawai minimarket”. Kini Keiko terancam dipisahkan
dari dunia minimarket yang dicintainya selama ini.
Judul: Convenience Store Woman (Konbini Ningen)
Karya: Sayaka Murata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Ketiga, Februari 2021
Jumlah Halaman: 160 hlm
ISBN: 9786020644394
Novel Convenience Store Woman |
~ s t o r y ~
Bermula saat Keiko pulang dari menonton pertunjukan Noh dalam
rangka kegiatan kampus, ia pulang sendirian dan tersasar ke daerah perkantoran
yang asing baginya. Daerah perkantoran tersebut dipenuhi bangunan putih nan indah.
Ia pun melihat sebuah poster “SEGERA DIBUKA Smile Mart Stasiun Hiiromachi!”
yang ditempelkan pada kaca bening. Bangunan tersebut akan menjadi minimarket
tempat Keiko bekerja.
Sebenarnya uang kiriman dari orang tuanya cukup, tetapi Keiko
tertarik untuk bekerja paruh waktu di minimarket tersebut. Ia mulai menjalani
wawancara dan pelatihan sebagai pegawai toko. Tidak disangka, Keiko sudah
menjalani hidupnya sebagai pekerja paruh waktu di minimarket selama 18 tahun.
Mulai dari minimarket itu dibuka dan berganti-ganti manajer, Keiko masih
bertahan.
Mulanya orang tua Keiko senang ketika anaknya tertarik untuk
bekerja. Itu artinya Keiko mulai mau beradaptasi dengan orang lain dan menjadi
orang “normal” yang diharapkan orang tuanya. Namun, saat usia Keiko sudah
menginjak usia dua puluh tahunan, timbul rasa bersalah dari kedua orang tuanya.
Keiko pun mencoba melamar pekerjaan lain, tetapi ia jarang lolos seleksi dokumen
karena pengalamannya hanya sebagai pekerja paruh waktu di minimarket.
Selama bekerja di minimarket, menurutnya itu adalah satu-satunya
cara untuk menjadi manusia “normal”. Ia dapat bertemu dan berinteraksi dengan
teman sesama pegawai, dapat menyapa pelanggannya, dan menjalani hidup sebagai
pegawai toko yang ia cintai.
Di tengah kehidupannya yang Keiko rasa sudah normal, timbul
suara-suara yang mengganggunya. Teman-teman lamanya sering kali ikut campur
dengan kehidupan pribadi Keiko, seperti dalam hal asmara. Meskipun sudah
berusia 36 tahun, Keiko belum pernah berpacaran. Teman-temannya mencemaskannya
karena normalnya di usia tersebut perempuan sudah menikah, mempunyai anak,
ditambah lagi memiliki pekerjaan tetap. Namun, Keiko “melanggar” aturan yang
dianggap “normal” oleh masyarakat.
Hingga pada suatu ketika ada mantan pegawai minimarket
bernama Shiraha yang tinggal bersama Keiko. Mendengar Keiko tinggal satu atap
dengan seorang laki-laki membuat orang-orang di sekitarnya senang. Keiko sudah
dianggap normal karena mulai berpacaran.
Hidup bersama Shiraha pun tidak berjalan mulus. Ada konflik
yang menghampiri mereka, seperti Shiraha yang tidak bekerja dan menumpang hidup
dengan Keiko, hingga adik ipar Shiraha pun turun tangan karena Shiraha kabur
dan menunggak bayar sewa kamar.
Setelah konflik itu terjadi, Keiko memutuskan untuk berhenti
bekerja dari minimarket. Normalnya seorang manajer minimarket tentu akan sedih
dan kesulitan apabila pegawainya berhenti bekerja. Namun, berbeda dengan Keiko
yang justru disambut baik oleh teman-temannya. Itu tandanya Keiko sudah normal
dan akan menikah dengan Shiraha.
Mau bagaimanapun nampaknya Keiko sudah terlahir sebagai gadis
minimarket. Meskipun ia sudah berhenti dari pekerjaannya, ia masih terbayang
dengan pekerjaan tersebut. Di akhir cerita, Keiko yang nyaris berpisah dengan
dunianya, ia kembali menemukan jati dirinya apa yang benar-benar ia cintai.
Fotonya di minimarket hehehe xD~ |
~ s u m m a r y ~
Novel ini sarat akan kritik sosial tentang ke-normal-an
masyarakat. Menjadi normal itu seperti apa sih? Apakah seseorang yang berbeda
dengan orang lain disebut dengan abnormal? Sayaka-san menuliskannya pada
halaman 82 bahwa “Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu
mengeliminiasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.” Kemudian
pada halaman 121 ia menambahkan “Manusia normal gemar mengadili manusia
yang tidak normal”.
Tokoh Keiko yang berusia 36 tahun, bekerja paruh waktu di
minimarket, dan belum menikah dianggap abnormal oleh orang-orang sekitar. Kalau
dipikir-pikir lagi, ia pun tidak mencampuri urusan orang lain bahkan ia tidak
merepotkan orang lain. Entah kenapa justru orang lain mencampuri urusan
pribadinya dan ia menjadi objek yang dianggap asing. Namun sikap Keiko yang
abai dengan omongan orang-orang di sekitarnya patut diapresiasi. Di akhir
cerita, Keiko tahu apa yang sebenarnya membuatnya bahagia.
Pengalaman pribadi Sayaka-san yang pernah bekerja paruh waktu
di minimarket menginsipirasinya untuk menulis novel ini. Entah kenapa saat
membaca novel ini aku berasa di minimarket. Adanya kalimat sapaan “Irasshaimase!”
kemudian penggambaran kehidupan minimarket yang seakan nyata seperti memasukkan
produk sanitasi ke kantong kertas, memisahkan makanan yang panas dari yang
dingin, mensterilkan tangan saat pelanggan memesan makanan cepat saji, menata
onigiri, dan lain-lain. Semuanya terasa nyata dan setelah membaca novel ini aku
jadi ingin belanja ke minimarket hehe~
Minimarket bukan hanya tempat bagi pelanggan untuk membeli
barang-barang yang mereka perlukan, melainkan juga harus menjadi tempat yang
memberikan kesenangan dan kebahagiaan ketika pelanggan menemukan barang yang
disuka (hlm 155).
#bektisiblogger
#conveniencestorewoman
#sayakamurata
#bukugramedia
Komentar
Posting Komentar